Sabtu, 17 Desember 2011

Meriahnya Festival Mata Air di Senjoyo

Bukan gerbang mewah yang saya lalui untuk memasuki arena festival. Saya dan dua teman menanjaki tebing berpagar obor-obor yang menjadi satu-satunya alat penerang jalan menapak kami. Di sisi kanan dan kiri, tumbuhan liar dilatari paduan suara tonggeret menggiring rasa tak sabar saya untuk segera sampai di area hutan Mata Air Senjoyo.
Selama tiga hari, tepatnya pada 9-11 Oktober, Salatiga diramaikan oleh Festival Mata Air 2009, sebuah festival tahunan yang diadakan oleh Komunitas TUK. Komunitas TUK yang merupakan kependekan dari Komunitas Tanam Untuk Kehidupan adalah sebuah perkumpulan anak-anak muda Salatiga yang peduli dengan permasalahan lingkungan dan menganggap seni merupakan wadah yang sesuai untuk menyampaikan pesan peduli lingkungan terhadap masyarakat. Menurut pihak TUK, Festival Mata Air tidak hanya sebagai sebuah pesta atau pagelaran seni biasa, melainkan merupakan kumpulan dari program-program kerja Komunitas TUK selama setahun yang bisa dinikmati secara serentak dalam festival ini.
Mata Air Senjoyo merupakan salah satu sumber air utama di Jawa Tengah. Tempat ini juga merupakan lokasi Festival Mata Air yang pertama diadakan. Kini, pada penyelenggaraannya yang ke-4, FMA seperti kembali ke rumahnya setelah dua kali festival sebelumnya berpindah tempat di pusat kota Salatiga. Menurut Rudy Ardianto, yang merupakan penggagas Komunitas TUK bersama istrinya, Vanessa Hyde, FMA tahun ini mengalami peningkatan ketimbang tahun-tahun sebelumnya. 
“FMA tahun ini jauh lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya dilihat dari partisipan & penonton. Tahun ini yang datang dua kali lipat dari tahun sebelumnya, kami perkirakan sekitar 15,000 orang,” ujar beliau. Ungkapan serupa juga saya dengar dari Titi Permata, Ketua Panitia Festival Mata Air 2009. 
Jujur saja, saya belum bisa membayangkan seperti apa festival yang diadakan di salah satu kota kecil yang sejuk ini. Rasa penasaran saya terjawab ketika pijakan terakhir di tanjakan tanah yang lumayan licin itu berganti menjadi hamparan rumput dan pepohonan tinggi yang dipasangi obor di batang-batangnya. Saya mengamati sekeliling: tenda-tenda, obor, instalasi yang terbuat dari jerami dan akar yang terlihat di bawah keremangan cahaya, dan kesibukan panitia yang wara-wiri menjadi pembuka pemandangan saya malam itu. 
Udara sejuk Salatiga membalut dan menyambut menit-menit awal kedatangan saya yang sedang asyik menikmati suasana juga menanti saatnya acara dimulai. Saya dan kedua rekan tiba setengah jam lebih awal. Menurut jadwal, Festival Mata Air 2009 akan dibuka pada pukul 18.30 WIB, dan kami sudah tiba setengah jam sebelumnya hingga waktu kami untuk berkeliling lebih banyak. Pengunjung belum begitu ramai, tapi beberapa kelompok anak muda dari beragam komunitas tampak sudah menempati hunian mereka masing-masing, baik berupa tenda di area yang kosong, atau hanya gelaran tikar yang bisa diisi hingga lebih dari 10 orang. 
Mata saya langsung tertuju pada empat banjar tenda putih setengah bulat yang masing-masingnya terdiri dari tiga tenda yang berbaris. Satu tenda yang dipenuhi oleh orang-orang dengan rajah di sekujur tubuhnya langsung menarik perhatian saya. Saya mendekat, ternyata benar, tenda itu adalah stand tattoo yang tentunya menyediakan jasa pembuatan tattoo permanen atau pun yang tidak permanen. Di jajaran tenda tersebut berdiri dua tenda lainnya yang menyediakan barang beragam seperti seni origami, penjualan aksesoris yang bahan pembuatannya berasal dari sampah yang didaur ulang, stan makanan/minuman, beberapa stan yang menjual aksesoris seperti kalung, gelang, tas, yang terbuat dari hasil alam, dan karya seni lainnya. 
Setelah merasa cukup untuk berkeliling area, saya berhenti di sisi kiri panggung utama dan duduk di bawah pohon untuk menghela nafas sesaat. Di depan panggung utama terdapat balon berbentuk beruang berwarna ungu putih dengan ukuran lebih dari satu meter yang digantung di atas pohon dan disorot oleh lampu tembak yang menjadikannya begitu mencolok. Celinguk kanan-kiri, berjarak 10 meter ke arah kiri belakang saya, terdapat anyaman ranting dan akar pohon yang berbentuk pelang besar. Ternyata ‘papan’ anyaman itu ditempeli oleh peta area Festival Mata Air yang sekaligus berfungsi sebagai pintu selamat datang. 
Sayup-sayup saya mendengar suara musik bertempo cepat menghentak dari kejauhan. Teman saya berkata bahwa menurut brosur yang berisi informasi jadwal acara dan peta lokasi, terdapat satu area yang bernama Panggung Elektro. Wow, ternyata ada area untuk rave party juga! Gurau saya kepada kedua teman saya yang akhirnya setuju untuk melihat ke sumber suara.
Ternyata tadi tidak ada satupun dari kami yang mengenali area Panggung Elektro karena letaknya yang terpencil dan kontur tanahnya lebih rendah ketimbang area lainnya. Panggung Elektro dibatasi oleh potongan-potongan pita putih yang dililit ke tiap pohon membentuk  pagar  persegi dan meja untuk Disc Jockey terletak di area paling belakang, ditutupi oleh tenda putih serupa. Pintu masuk menuju panggung elektro terbuat dari jalinan akar dan ranting yang membentuk busur dan dihiasi oleh gantungan keping-keping piringan musik bekas dan pita-pita putih yang menjuntai membentuk tirai.
Beberapa warga asing saya lihat sudah asing berjoget mengikuti irama musik yang dimainkan oleh sang DJ yang bertahta di balik turntable-nya. Walaupun acara belum secara resmi dimulai, tapi ternyata satu area festival sudah diramaikan oleh hentakan musik disko dan segelintir orang yang bergoyang dengan penuh keriaan.
Saya membaca selebaran jadwal program di tangan saya untuk mendapatkan petunjuk lebih mengenai acara ini. Ternyata terdapat tiga panggung yang terbagi ke dalam dua area yang berbeda. Panggung Utama dan Panggung Elektro terdapat di area hutan Mata Air Senjoyo yang merupakan sebuah bukit dengan pepohonan berdiri menjulang yang mengingatkan saya akan Taman Ir. H. Djuanda di Bandung, kerap disebut Hutan Raya Dago. Sedangkan Panggung Air, terdapat di sisi lain, tepatnya di bawah area hutan Mata Air Senjoyo. Panggung itu saya lewati ketika baru tiba dan hendak menanjaki bukit menuju area utama FMA ini. Dari selebaran jadwal itu pula saya ketahui bahwa pagelaran-pagelaran di Panggung Air dilaksanakan dari pukul 10.00 hingga 18.00 WIB, sejak hari kedua FMA. 
Tak lama kemudian, terdengar sapaan kencang duo Master of Ceremony dari panggung utama yang menandakan Festival Mata Air 2009 akan segera dimulai. Saya kembali ke posisi awal yaitu di sisi kiri panggung. Panggung utama gelap, hanya sosok yang berdiri di panggung kecil di depan panggung utama ditembak oleh lampu sorot yang saya jamin sungguh silau di mata orang yang berdiri di tempat itu. Seperti acara lainnya, pembukaan diisi dengan sederet kata pembuka Titi Permata yang lalu saya sapa dengan panggilan khas Jawa, ‘Mbak’, hingga perwakilan Pemerintah Propinsi Jawa Tengah. 
Sebenarnya, rangkaian FMA sudah diawali dengan parade kostum yang berjudul Parade Jalan Kostum Sampah pada Kamis, 8 Oktober, sehari sebelum saya tiba di Salatiga. Parade itu bertempat di sepanjang jalan raya Salatiga. Sebuah hiburan yang atraktif seolah hendak mengingatkan masyarakat bahwa satu hari lagi FMA yang ke-4 akan segera dimulai. 
Pentas seni malam itu dibuka oleh grup perkusi asal Jakarta, Payon. Permainan mereka yang sungguh ekspresif dan musik yang dibawakan mampu membuat penonton terbakar semangatnya hingga area depan panggung utama diisi oleh beberapa tubuh penonton yang berasal dari lingkungan sekitar bercampur dengan para kerabat dari luar negeri asyik bergoyang. Aksi para personil Payon yang atraktif dengan penonton dan cara mereka bergoyang sambil menabuh masing-masing instrumen yang tergantung di tubuh mereka mampu membawa pengunjung hingga terpusat di area panggung utama.

Festival Mata Air 2009 tidak hanya diramaikan oleh panggung musik. Sesuai dengan konsep para panitia pelaksana, seni kontemporer berbau edukasi akan memanjakan pengunjung selama tiga hari pelaksanaan festival. Pada malam pertama, selain pentas musik perkusi, terdapat juga wayang kontemporer yang bertajuk Wayang Kampung Sebelah, berasal dari Solo. Walaupun sempat mengalami kendala teknis, namun pertunjukkan wayang yang bercerita mengenai konflik politik melalui kehidupan warga desa secara singkat ini tetap berhasil dan menghibur pengunjung. Uniknya, jika kita biasa menyaksikan wayang yang ditemani oleh sinden yang melagukan tembang-tembang, pada pertunjukan Wayang Kampung Sebelah, sempat beberapa kali sang sinden melagukan lagu-lagu rock jaman sekarang dengan gaya tetap menyinden yang menjadikan penonton beberapa kali bertepuk tangan mengapresiasi racikan wayang kontemporer tersebut. 
Setiap paginya, selama tiga hari, Festival Mata Air menyediakan wahana pelatihan Yoga. Selain itu, banyak sesi-sesi workshop lainnya yang dapat diikuti berbagai kalangan, mulai anak-anak hingga dewasa, seperti: pembuatan patung dari sampah untuk anak-anak, mozaic, guitar clinic, pembuatan lampion, mural painting, pembuatan barang-barang dari sampah daur ulang, hingga pelatihan film pendek dan pelatihan menulis. Semuanya dapat diikuti secara gratis di arena workshop dengan jadwal yang dapat dilihat di selebaran program yang juga dapat diperoleh setiap pengunjung dengan cuma-cuma.

Hari kedua saya mengunjungi festival ini, setiba saya di lokasi saat hari masih pagi, baru saya dapat melihat jelas bagaimana bentuk area festival ini juga menikmati beragam instalasi yang dipasang. Terdapat beberapa patung yang dibuat dari sampah berisi pesan singkat tentang lingkungan, replika pensil setinggi dua kali tubuh anak-anak yang memagari area pembuangan sampah, anyaman akar dan jerami yang dibentuk menjadi sepeda lalu digantung di salah satu pohon, hingga yang paling menarik perhatian saya adalah sangkar burung yang terbuat dari akar dan ranting juga jerami menjadi tempat favorit pengunjung untuk mengambil gambar diri mereka. 
Malam sebelumnya, saya juga tidak sempat mengamati karung-karung besar yang digantung di beberapa pohon yang ternyata berfungsi sebagai tempat sampah. Saya perhatikan sekeliling, ternyata saya tidak menemukan sampah berserakan di area festival, padahal besar kemungkinannya untuk melihat  selembar bungkus makanan yang teronggok begitu saja pada acara sebesar ini. 
Mbak Titi yang sempat berbincang dengan saya seusai acara juga bercerita tentang betapa senang ia mengamati anak-anak kecil yang tertib membuang sampah pada tempatnya. 
“Bahkan ada ibu-ibu yang diceletuki oleh anak band karena ia membuang sampah sembarangan, lho,” ujarnya dengan semangat.

Saya sempat menghabiskan waktu yang cukup lama di area workshop pembuatan patung dari sampah untuk anak-anak. Di sana, saya duduk bersama rekan mengamati anak-anak kecil begitu semangat memilih dan memilah sampah mana yang hendak mereka karyakan, lalu mengecat ulang dengan warna pilihan mereka hingga lalu jadilah patung yang nantinya akan ditusuk ke dalam batang bambu bersama dengan karya anak-anak lain. Instalasi itu mengingatkan saya akan makanan sate, hanya saja ini tidak terdiri dari daging ayam atau kambing melainkan kaleng-kaleng cat atau kemasan kaleng produk makanan/minuman yang sudah dirangkai dan diwarnai ulang oleh anak-anak. Mas Didik yang menjadi koordinator workshop anak-anak pun begitu antusias untuk bercerita mengenai pengalamannya bergelut di bidang ini selama ia bergabung dengan Komunitas TUK dan menjadi bagian dari penyelenggara FMA. 
“Bagi saya, perlu cara lain selain pendidikan formal kepada anak-anak mengenai pentingnya peduli lingkungan,” ujarnya sambil sibuk memberi pengarahan kepada anak-anak yang sedang asyik berkarya. Sesekali ia mengambil karya yang sudah jadi untuk lalu dipajang di ‘tusuk sate’ yang menanti karya terbaru ditusukkan. 
Saya asyik berdiskusi dengan Mas Didik mengenai bagaimana penerapan tentang isu peduli lingkungan dengan cara kreatif dapat dikenai kepada anak-anak sekarang sambil terus menyaksikan anak-anak usia sekolah dasar di sekeliling saya itu asyik sendiri dengan pekerjaannya. Komunitas TUK sudah menyediakan edukasi terhadap anak-anak dalam program kerja mereka. Saya menangkap bahwa TUK memiliki pandangan sendiri, sederhana namun begitu konkrit, tentang peduli terhadap lingkungan. Setelah FMA ini usai, program lanjutan mereka adalah menanam bibit pohon di lereng Gunung Merbabu, yang rencananya akan dilaksanakan pada Desember 2009.
Di sebelah kiri saya yang tengah menikmati anak-anak kecil serius berkarya tampak beberapa pengunjung yang kebanyakan anak kecil sedang asyik menggoyangkan pinggulnya, mereka bermain hoola hoop bersama Maya, seorang perempuan asal Australia yang sedang memandu anak-anak itu terus bergoyang dengan lingkaran bambu yang mengitari tubuh mereka. Jika suasana di tempat saya ini sedang khusyuk, maka di sisi sana begitu riuh dan ramai. Tak lama saya beranjak menuju area Sirkus & Hoola Hoop dan ternyata orang dewasa tak luput dari perhatian Maya dan temannya. Mereka beberapa kali menghampiri teman saya untuk memaksanya bermain hoola hoop yang disambut dengan gerakan cepat teman saya yang lain untuk mengabadikan momen itu dengan kameranya.

Siang beranjak terik, namun pepohonan yang meneduhi hutan Senjoyo membuat kami semua yang ada di sana tetap merasa sejuk. Saya menengadahkan kepala dan menyaksikan sinar matahari yang menyusup di antara ranting pohon jadi teringat slogan utama acara ini, “Tanam Pohon-Tangkap Air.” Walaupun sudah bisa mencernanya sendiri, tapi saya baru menemui kalimat lugas yang tepat untuk menjelaskan maksud slogan mereka ketika berbincang dengan Mbak Titi, 
“Lingkungan ibarat sebuah pohon. Sebatang pohon merupakan sumber kehidupan kita, karena fungsinya untuk menyerap air. Sesederhana itu untuk dimengerti, hanya saja ungkapan ini ada dalam skala yang jauh lebih sederhana,” ujar beliau.

Saya berpikir, ternyata apa yang saya maknai dari awal saya membaca slogan itu tidak meleset. Melalui slogan itu, Komunitas TUK ingin menyampaikan betapa pentingnya satu batang pohon bagi kehidupan manusia. Tanpa keberadaan pohon di dunia ini, manusia tidak akan mampu mengecap air yang merupakan kebutuhan utama dalam kehidupan. Pesan singkat itu jugalah yang sering luput dari pikiran manusia, dan melalui perkataan Mbak Titi, ia mencoba membuat isu lingkungan yang selama ini mungkin terkesan terlampau global menjadi terdengar sederhana dan menyampaikannya melalui FMA. Ada elemen yang lebih kecil dari isu global itu yang bahkan manusia sendiri lupa untuk pahami. Lapisan itulah yang coba disentuh oleh Komunitas TUK melalui sederet rangkaian program kerja mereka hingga menemui puncak tahunannya pada FMA.

Selama acara berlangsung, terdengar orasi dari MC bahwa gelaran FMA tahun ini merupakan yang terakhir. Saya masih belum mengerti mengapa harus dipatok tahun 2009 merupakan Festival Mata Air yang terakhir hingga acara usai, saya berbincang singkat dengan Mas Rudy yang menjelaskan, 
“Kami ingin mundur sejenak untuk menyusun amunisi yang lebih kuat lagi ke depannya. Setelah empat tahun berturut-turut festival ini diselenggarakan, kami rasa ada baiknya untuk rehat namun bukan dalam artian berhenti, melainkan untuk menyusun kekuatan baru demi program TUK selanjutnya,” jelasnya. 
Beliau juga mengatakan bahwa Komunitas TUK tidak menutup kemungkinan adanya kerjasama dengan pihak manapun yang ingin menyelenggarakan acara serupa di lokasi luar Salatiga. Jika memungkinkan, menurut pihak TUK, kerjasama itu akan membentuk jaringan baru untuk kerjasama yang lebih baik ke depannya.
Saya sempat heran dengan daftar Friends & Networking yang nyaris menunjukkan institusi-institusi luar negeri (Australia) dan komunitas-komunitas bersifat non-pemerintah dari dalam negeri. Dari Mas Rudy akhirnya saya mengetahui kepedulian yang berujung pada tindak supporting dari AVI (Australian Volunteer International), institusi dimana beliau dan Vanessa  bekerja. Ketika TUK terbentuk, sepasang suami istri yang memutuskan pindah ke Salatiga setelah lama tinggal di Negeri Kangguru itu mendapat bantuan dari AVI. Tidak tanggung-tanggung, pihak AVI juga mengirimkan sejumlah sukarelawan dari Australia untuk membantu terlaksananya FMA. Dari sana juga, jaringan Mas Rudy dan Vanessa yang memang aktif dalam kegiatan seni bersifat ‘grass rooted activism’ di Sydney, menjadi bertambah. 
Ditanya mengenai kepedulian pemerintah setempat terhadap program kerja TUK dan FMA sendiri, pihak TUK mengakui bahwa mereka masih prihatin dengan sikap pemerintah kota yang kurang responsif untuk bekerjasama. Untungnya, pemerintah propinsi lebih sigap dalam menyikapi program kerja TUK, hal ini terlihat dari tindak lanjut mereka untuk mengetahui program penanaman bibit pohon di Lereng Merbabu yang merupakan kelanjutan dari kegiatan Komunitas TUK setelah Festival Mata Air di 2009.

Jika selama ini saya kerap menyaksikan pagelaran seni di Bandung atau Jakarta, merupakan pengalaman yang pertama saya menikmati tampilan-tampilan seni yang variatif dari anak-anak Jawa Tengah. Walaupun ada juga partisipan yang berasal dari Ibukota, namun FMA banyak menggaet komunitas-komunitas seni ataupun seniman individualis (demikian pihak TUK menyebutnya dalam selebaran program) dari Yogyakarta, Solo, Ungaran, Salatiga, dan seputar Jawa Tengah. Pihak TUK senang menyebut gerakan mereka dan teman-teman partisipan sebagai komunitas ‘grass rooted’. 
Dalam FMA, saya dapat menikmati beragam bentuk seni dalam satu tempat: musik, lukisan, seni rajah, teater-teater, kuda lumping, wayang, mural, hingga komunitas bikers yang sempat adu pamer di sana. Ada pula satu stan yang diisi oleh seniwati asal Australia bernama ‘Risk Depot’. Ia hanya bermodalkan lembaran kertas kosong dan satu pohon yang meneduhinya untuk menarik pengunjung yang datang. Di sana, tiap pengunjung yang ingin berpartisipasi diminta untuk menulis resiko atau ketakutan-ketakutan mereka dalam hidup di dalam lembaran kertas yang dibagikan. Nantinya, seniwati ini akan membuat sebuah karya seni berdasarkan apa yang pengunjung tulis di kertas tersebut. Hasilnya akan dipamerkan di portal pribadinya dan masing-masing partisipan mendapat nomor identitas untuk dapat melihat kemajuan karya atas ‘petisi’ mereka masing-masing.

Pada hari kedua, penampilan yang menurut saya sungguh menohok dan menakjubkan adalah penampilan teatrikal dari YPMJ Jepara, bertajuk Teater Perang Obor. Area depan panggung utama dikosongkan malam itu, para pengunjung dipersilahkan mengambil tempat di luar batas panggung yang dibatasi oleh sekitar delapan obor yang menancap tanah. Dialog yang menggunakan bahasa Jawa membuat saya kurang mengerti isi dari pementasan malam itu, namun saya sungguh menikmati adegan dimana para pemain mulai melakukan aksi perang obor. Sebelum adegan tersebut mengejutkan saya, terlebih dahulu para pemain yang terdiri dari belasan laki-laki berusia sekitar belasan hingga dua puluh tahun melumuri sekujur tubuh mereka dengan lumpur. 
Sesaat setelah itu, mereka melakonkan adegan perang dimana masing-masing pemain itu memanggul jalinan jerami seukuran dua kali tubuh mereka lalu menyulut api dari tiap obor yang sudah menyala di tiap sudut. Adegan itu dilanjutkan dengan masing-masing dari mereka menggebuk tubuh pemain yang lain dengan batang jerami itu hingga pendaran api menyala di tubuh pemain lainnya. Perang obor ini berlanjut hingga semua pemain berjatuhan, seolah menandakan kekalahan dan batang jerami itu telah habis dilalap api.
Tak pelak, penampilan teater yang satu ini mengundang banyak decak kagum dan ketakutan dari penonton yang ‘ngeri’ menyaksikan bara api mencambuk sekujur tubuh setengah telanjang mereka.
Setiap malam ketika panggung utama sudah lelah untuk diisi oleh pengisi acara, pengunjung diberikan waktu rehat sambil menanti pojok Panggung Elektro menguasai malam dengan hentakan musik diskonya. Ramai orang berbondong-bondong akan segera terpusat di arena tersebut untuk merayakan kesenangan mereka selama sehari dengan berjoget bebas dan menghabiskan malam di sana. Untuk menanti pagi, sambil tak lupa terhadap kesan yang didapat melalui sajian Festival Mata Air sehari hingga tiga hari penuh. 
Pada penutupan, terdapat pawai lampion yang merupakan hasil karya workshop pembuatan lampion selama tiga hari. Area dekat Panggung Air, tepatnya sungai di mana aliran mata air mengalir leluasa dipenuhi oleh temaram cahaya warna-warni dari lampion-lampion sederhana. Pelepasan origami berupa kupu-kupu pun menghiasi malam penutupan FMA, menutup keriaan selama tiga hari dan menoreh harapan baru bahwa lingkungan pun mampu membuat manusia terhibur, dengan seni dan segala pesan sederhana yang mampu membuat siapa saja tersenyum ketika meresapinya.

Festival Mata Air menyisakan satu kesan yang tak kalah unik bagi saya. Di sana, saya menemui berbagai komunitas yang bergaya ala falsafah hidup mereka, seperti komunitas punk yang datang dengan dandanan mohawk dan segala emblem di kemeja jeans mereka dan sepatu ala Doc Martin yang membalut skinny jeans belel mereka. Pun komunitas metal/hardcore yang identik dengan kostum hitam dan celana army. Segala sesuatu yang bagi saya ‘nyentrik’ dan jarang ditemui dalam satu event sekaligus dapat saya temui di sana: melakukan apa yang mereka lakukan, menikmati Festival Mata Air, menikmati keteduhan pohon yang menghalangi terik kejam matahari di siang hari, berkumpul bersama rekan lama atau baru. Dan yang terpenting, berpikir betapa tidak layaknya kita untuk kejam terhadap lingkungan yang telah meneduhi kami semua di sana selama tiga hari yang intim dengan alam.***

Cerita Rakyat Sendang Senjaya di Tegalwaton

Cerita Rakyat Sendang Senjaya dituturkan secara lisan dan masih terpelihara dengan baik di tengah-tengah masyarakat desa Tegalwaton Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang, Cerita Rakyat Sendang Senjaya digolongkan sebagai cerita lisan atau folklor. Folklor merupakan sebagian dari kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun diantara kolektif macam apa saja secara tradisional dalam versi yang berbeda–beda, baik dalam bentuk lisan maupun disertai contoh dengan gerak isyarat atau alat bantu (James Danandjaja  984 :2 ).
 Cerita lisan lahir dari masyarakat tradisional yang masih memegang teguh tradisi lisannya. Cerita rakyat merupakan manifestasi kreativitas manusia yang hidup dalam kolektivitas masyarakat yang memilikinya, dan diwariskan turun temurun secara lisan dari generasi ke generasi, Cerita Rakyat Sendang Senjaya digolongkan sebagai cerita rakyat karena adanya peninggalan berupa Sendang dan memiliki sebuah cerita yang dipercayai keberadaannya. Cerita rakyat biasanya orientasi penyebarannya terbatas pada daerah tertentu dan merupakan muatan lokal yang menyatu sekaligus sebagai kebanggaan daerah yang bersangkutan. Tokoh-tokoh dalam cerita dianggap merupakan orang yang bersifat dewa atau didewakan atau kultus cerita pada tokoh atau masyarakat pendukungnya.
Cerita Rakyat Sendang Senjaya sangat populer di wilayah Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang Propinsi Jawa Tengah. Tokoh Arya Sunjaya atau Senjaya yang dikenal masyarakat sebagai tokoh legendaris dan dianggap sakti oleh masyarakat, karena kepandaiannya, keberaniaanya, serta pembela kebenaran. Bahan kajian sastra lisan amat kaya, yang paling penting dalam penelitian sastra lisan adalah melakukan upaya penelitian struktur sastra lisan sambil melakukan perekaman untuk menyelamatkan sastra lisan ke dalam bentuk tulisan agar dapat dijadikan dokumen dan peninggalan sejarah. Cerita rakyat sebagai sastra lisan mempunyai banyak fungsi dan sangat menarik serta penting untuk diselidiki. Cerita Rakyat Sendang Senjaya juga perlu dilestarikan sehingga keberadaannya dapat dirasakan oleh masyarakat pendukungnya.
Nama Senjaya pada Sendang Senjaya berasal dari tokoh pewayangan, yaitu Arya Sunjaya atau Sunjaya merupakan keturunan dari Arya Widura. Kalah berperang dengan Adipati Karna kemudian moksa menjadi Sendang Senjaya. Sendang Senjaya konon dipercaya sebagai tempat yang memiliki berkah dan sering digunakan orang sebagai tempat untuk berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Di sinilah dahulu Mas Karebet yang juga dikenal dengan nama Joko Tingkir yang kemudian menjadi Sultan Hadiwijaya, sering melakukan lelaku Kungkum sebelum memutuskan mengabdi menjadi prajurit di Kerajaan Demak.
Kecamatan Tengaran dulu memang terkenal karena kewingitan hutannya. Tentang kewingitannya itu hingga sekarang masih bisa dirasakan kalau berkunjung ke Sendang Senjaya, Desa Tegalwaton Kecamatan Tengaran. Daerah di sekitar itu masih rimbun dengan pohon yang lebat. Konon, di salah satu pohonnya yang besar itulah, Mas Karebet atau Joko Tingkir pernah bertapa untuk menuntut ilmu kanuragan (kebal). Sekitar sendang dilingkupi hutan kecil seluas lima hektar. Di tepi sendang tegak berdiri pohon pule, suren, preh, doyo, dan beringin. Limpahan air yang mengalir dari Sendang Senjaya disalurkan ke tampungan air, nantinya tampungan air yang dari Sendang Senjaya sebelum terbuang ke sungai dimanfaatkan warga untuk mencuci segala peralatan mereka. Jika musim kering tiba atau musim kemarau pengunjung Sendang Senjaya bertambah, dari mereka yang datang tujuannya adalah untuk merasakan dan menikmati suasana yang segar karena jernihnya air Sendang Senjaya.
Di sekeliling Sendang Senjaya terdapat enam Sendang dengan ukuran lebih kecil, yaitu Sendang Slamet, Sendang Bandung, Sendang Putri, Sendang Lanang, Sendang Teguh dan Tuk Sewu. Tengaran memang dimanjakan oleh air, karena terletak di ketinggian 450-800 meter di atas permukaan laut itu secara geografis memang kaya air. Air yang dipasok dari lereng Gunung Merbabu, Telomoyo, Gajah Mungkur. Tak kurang dari 65 mata air atau belik (dalam bahasa lokal) tersebar di berbagai penjuru kota. Limpahan air dari mata air mengalir ke sungai-sungai yang menjalar di berbagai kampung dan dusun di Tengaran. Itulah mengapa kampung desa di sekitar Tengaran mempunyai nama yang mengacu pada nama sungai, antara lain Kalitaman, Kalicacing, Kalisombo, Kalioso, Kalibodri, Kaligetek, Kalibening, Kalinangka, dan kali – kali lainnya. Airnya selalu bersih dan jernih. Sendang Senjaya digunakan masyarakat sebagai pemasok utama kebutuhan air bersih di Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang, karena pada jaman Belanda dulu Sendang ini dimanfaatkan sebagai penyuplai kebutuhan air bersih.
Sendang Senjaya biasanya ramai di kunjungi orang pada malam Selasa Kliwon dan Jum’at Kliwon, serta malam tanggal 15 dan 16 kalender Jawa. Mereka yang datang untuk lelaku biasanya selalu menyempatkan berendam (kungkum) disalah satu sumber mata air di kawasan Sendang Senjaya. Kegiatan Kungkum termasuk kegiatan batiniah yang bertujuan untuk mendapatkan Ridho dari Tuhan, kebanyakan dari peziarah yang datang ke Sendang Senjaya mengharapkan menerima berkah dengan melakukan Kungkum, melakukan tradisi Kungkum yaitu kira-kira selama satu jam atau lebih dengan posisi duduk dan hanya kelihatan kepalanya dari permukaan air. Kebiasaan di Sendang Senjaya peziarah sebelum melakukan Kungkum menyalakan dupa, dupa sebagai pengirim doa kepada Allah SWT karena simbol dari keharuman dupa sangat disukai oleh Tuhan. Dengan suasana yang hening dan sepi menjadikan doa pelaku Kungkum khusuk dengan harapan permohonan doa dapat segera terkabulkan. Jumlah pengunjung di Sendang Senjaya akan makin bertambah banyak setelah waktu tengah hari pukul 12.00 hingga sekitar pukul 18.00. Mereka tak hanya berasal dari Salatiga dan Kabupaten Semarang, tetapi ada yang berasal dari Yogyakarta, Magelang, Klaten, Boyolali, Demak dsb.
Tradisi padusan di Sendang Senjaya sudah berlangsung bertahun-tahun. Juga dilakukan menjelang bulan Puasa. Selain tradisi Kungkum dan Padusan terdapat juga tradisi Upacara Mapag Tanggal merupakan tradisi sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT yang dilakukan pada setiap malam satu Sura (penanggalan Jawa). Upacara tradisional merupakan salah satu wujud peninggalan kebudayaan. Kebudayaan adalah warisan sosial yang hanya dapat dimiliki oleh warga masyarakat pendukungnya dengan jalan mempelajarinya. Ada cara-cara atau mekanisme tertentu dalam tiap masyarakat untuk memaksa tiap warganya mempelajari kebudayaan yang di dalamnya terkandung norma-norma serta nilai-nilai kehidupan yang berlaku dalam tata pergaulan masyarakat yang bersangkutan, mematuhi norma serta menjunjung nilai-nilai penting bagi warga masyarakat demi kelestarian hidup bermasyarakat. (DR. Purwadi 2005 :1)
Masyarakat sebagai pelaku atau pelaksana upacara Mapag Tanggal selalu membuat ubarampe dalam perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam pelaksanaan upacara Mapag Tanggal tersebut di dalamnya terdapat maksudmaksud tertentu antara lain sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkah yang dilimpahkan sehingga hasil panennya dapat dikatakan berhasil. Ungkapan tersebut disimbolkan dalam membuat sesaji berupa makanan. Makanan yang mereka persembahkan berupa hasil dari pertanian mereka diantarannya padi, umbiumbian dan sebagainya.

Kampung Cowboy Tegalwaton

Mendengar nama Kampung Cowboy, perhatian kita pasti akan tertuju pada perkampungan yang sebagian besar mata pencaharian warganya adalah berkuda, atau minimal seputar dunia perkudaan. benar saja perkiraan anda ini. Apalagi Kampung Cowboy  yang kali ini ditampilkan Team Reporter Rasika jalan-jalan adalah Kampung Cowboy khas Kabupaten Semarang yang terletak di desa Tegalwaton Kecamatan Tenggaran Kabupaten Semarang.
MbahPriyo panggilan akrab Supriyono mengatakan, kemunculan nama Kampung Cowboy ini menang murni ide darinya. Ide itu muncul sejak tahun 1965 silam karena dia melihat banyak potensi di kampung ini yang belum tergarap, saat ini saja ada sekitar 250 kuda yang dititipkan di kampungnya.
Priyo yang hingga kini masih gigih mengembangkan Desa Tegalwaton, memang berniat menjadikan Tegalwaton sebagai  desa wisata. Ungkap  penggemar mobil Jeep dan kuda pacu tersebut, saat itu dia berfikir, jika Tegalwaton hanya mengandalkan pertanian saja, maka akan sangat sulit. Lalu muncul ide menjadikan Tegalwaton sebagai desa wisata.
Bahkan dengan adanya lapangan pacuan kuda berstandar nasional, kini banyak pendatang dari Semarang, Solo, Kudus, dan sebagainya yang membeli tanah di Tegalwaton untuk membuat kandang kuda pacu. Selain itu, warga Belanda, Jerman, dan manca negara lainnya sering berkunjung untuk berlatih berkuda. Bahkan ada orang Belanda yang menetap di sini. Saat ini Desa Tegalwaton sudah seperti Kampung Cowboy.
Sementara itu seiring dengan perkembangan Kampung Cowboy tersebut, kesejahteraan warga ikut terangkat karena banyak bermunculan warung makan dan usaha jasa lainnya. Tidak ketinggalan pula sekolah berkuda di tegalwaton bernama Arrowhead.
Penggelola Arrowhead Ninuk wiryono mengatakan, potensi desa Tegalwaton memang luar biasa untuk memelihara  kuda pacu dan untuk wisata serta  latihan calon atlet. Bahkan Kampung Cowboy di Jateng ini kemungkinan adalah satu-satunya hanya Kampung Cowboy.
Ninuk menjelaskan, jika hari Sabtu dan Minggu serta hari libur, banyak pengunjung yang berwisata di Tegalwaton. wisatawan dari luar kota itu sangat menyukai naik kuda pacu dan kuda poni. Sehingga menjadikan keberadaan desa Tegalwaton semakin terkenal Dengan aura Kampung Cowboynya.
Sementara itu, Kevin bocah berusia 7 tahun asal Semarang mengaku senang  bisa naik kuda di kampung coboy tegal waton meskipun sedikit deg-degan karena penggalaman pertama.

Bupati Semarang, Munjirin berharap dengan adanya desa wisata kampong coboy di Tegalwaton Tengaran ini bisa digunakan untuk sekolah berkuda termasuk didalamnya  seni berkuda. Bahkan untuk mendukung desa Tegalwaton sebagai Kampung Cowboy maka pacuan kuda akan dijadikan lapangan kuda yang berstandar nasional. Bahkan Pemkab berjanji akan memperbaiki jalan akses masuk ke lokasi yang selama ini rusak.

sumber : http://www.rasikafm.net/media-online/streaming-rasika-sragentina/3888-kampung-cowboy-tegalwaton-serasa-di-texas.html

Wisata Gunung Sindoro Dan Sumbing

Oleh : Imam Saefudin
Suhu dingin dan aroma tembakau adalah warna tersendiri dalam perjalanan kami. Kicau burung dan indahnya alam pegunungan adalah hiburan tersendiri dalam pendakian kami. Perjuangan mendaki tanjakan demi tanjakan tanah liat yang licin adalah sisi lain petualangan kami.

Begitulah pengalaman kami ketika mendaki Gunung Sumbing, Jawa Tengah, awal Februari tahun lalu. Bersama dua teman dari kelompok pencinta alam Manapugiri, Utom dan Ilyas, kami menempuh perjalanan dari Bandung menuju Yogyakarta. Malam itu, setelah 10 jam, kereta api yang membawa kami dari Stasiun Kiaracondong, Bandung, akhirnya kami tiba di Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta, keesokan harinya. Jam di tanganku menunjukkan pukul 07.00.

Selanjutnya, dari Kota Gudeg itu, dengan bus umum kami meluncur ke Magelang, sejauh sekitar 42 kilometer, selama satu jam. Ganti minibus, sekitar satu setengah jam, kami melanjutkan perjalanan ke Garung, yang merupakan desa terakhir menuju puncak Gunung Sumbing. Desa dengan ketinggian 1.543 meter di atas permukaan laut itu dilalui jalur bus atau minibus dari arah Magelang menuju Wonosobo atau sebaliknya. Untuk sampai di titik awal pendakian, yakni Desa Butuh, Kecamatan Kalikajor, Wonosobo, kami harus berjalan kaki sekitar satu jam.
Satu malam kami menginap di pos pendakian, yang biasa dijadikan base camp, tempat istirahat atau menginap bagi pendaki.

Pagi keesokan harinya, Desa Butuh cukup dingin. Setelah meminta izin kepada petugas dan mempersiapkan segala sesuatu, termasuk air, yang akan sulit kami temui selama dalam perjalanan, kami pun memulai pendakian pada pukul 06.00.

Kicau burung-burung di pagi hari menemani gerak langkah kami menuju puncak. Kami memilih jalur baru, dari dua jalur yang bisa dilalui menuju puncak. Memang sedikit lebih jauh. Sementara itu, pada jalur lama sering terjadi tanah longsor. Namun, kedua jalur itu akan bertemu sebelum puncak.

Selama dalam perjalanan pendakian, sesekali kami menyapa penduduk yang akan berangkat ke kebun atau ladang tembakau.

Dari pos pendakian Gunung Sumbing (3.371 meter di atas permukaan laut), kurang-lebih 200 meter setelah jalanan yang cukup menanjak, kami sampai di jalur yang lebih landai. Di jalur itulah kami melewati ladang-ladang tembakau sampai di perbatasan hutan di kawasan Boswisen.
"Wah, lembah-lembah Sumbing banyak ditanami tembakau. Mungkin hutannya sudah beralih fungsi menjadi hutan tembakau," kata Ilyas, sedikit bercanda.

"Iya," sahutku, "Mungkin tahun 2030 puncaknya akan banyak ditanami tembakau."
"Sayang, masyarakat tidak menyadari dan memelihara keseimbangan hutannya," kata Ilyas.
Sesekali bercanda, kami terus melanjutkan perjalanan. Setelah melewati batas antara ladang tembakau dan hutan, kami harus mendaki jalan tanah liat dan tanah merah berpasir. Sementara itu, suhu udara yang cukup dingin merepotkan kami. Sesekali kami melihat keindahan lembah-lembah Gunung Sumbing yang berubah fungsi menjadi ladang tembakau.

Dengan beban berat yang menempel di punggung, kami melewati kawasan Genus. Pada rute pendakian ini kondisinya sama, berupa jalan tanah liat dan tanah merah berpasir serta di kanan-kiri jalan terdapat rerumputan dan pohon-pohon kecil yang cukup indah. Kadang sejenak kami berhenti untuk menikmati keindahan alam Gunung Sumbing sebelum melanjutkan mendaki rute menanjak.
Kawasan sekitar Gunung Sindoro-Sumbing barangkali bisa dikembangkan untuk obyek wisata petualangan seperti halnya Taman Nasional Gunung Bromo Tengger-Semeru di Jawa Timur atau obyek wisata alam Taman Nasional Gunung Gede Pangrango di Jawa Barat. Nama Gunung Sindoro-Sumbing mungkin tidak asing lagi di telinga masyarakat, terutama bagi masyarakat yang senang bertualang di alam terbuka. Suguhan alam pegunungan dan panorama alamnya yang begitu mempesona semakin membuat banyak orang penasaran.

Di kawasan ini juga terdapat sejumlah obyek wisata alam, antara lain Curuk Duwur, dataran tinggi Dieng, dan Telaga Warna. Curuk Duwur terletak sekitar 2 kilometer dari Desa Butuh, berupa air terjun yang mempesona. Di dataran tinggi Dieng, kira-kira 26 kilometer dari Wonosobo, yang berhawa sejuk, terdapat obyek wisata alam, seperti Kompleks Candi Hindu dan Kawah Sikidang. Adapun Telaga Warna merupakan telaga vulkanis bekas kepundan sebuah gunung merapi yang meletus pada masa Dieng Purba. Sarana akomodasi yang tersedia di kawasan ini, terutama di Wonosobo, berupa hotel dan rumah-rumah penduduk yang disewakan kepada wisatawan.

Gunung Sindoro mempunyai ketinggian sekitar 3.134 meter di atas permukaan laut, yang di puncaknya terdapat beberapa dataran seluas sekitar 400 x 300 meter. Di sebelah barat puncak Sindoro, ada dataran Segoro Wedi dan sebelah utara adalah dataran Banjaran. Dua dataran lain merupakan sisa kawah utama sekunder. Pada setiap 1 Syuro, di puncak Sindoro diadakan upacara selamatan sebagai ungkapan rasa terima kasih atas pemberian Sang Penguasa Alam.

Baru saja kami menikmati jalur yang agak sedikit mendatar, kami harus dihadapkan lagi pada tanjakan yang cukup tajam di bukit Genus sampai Sedelupak Roto dengan kondisi jalan yang juga tanah liat dan tanah merah berpasir. Perjuangan yang cukup melelahkan karena kami tidak diberi jalan mendatar, keseluruhan rutenya tanjakan yang cukup tajam. Sesekali matahari mengintip dari dedaunan. Semilir angin dari lembah-lembah sedikit membuat kondisi kami lebih segar. Seekor elang terbang melayang-layang di langit seakan menyambut kami di Gunung Sumbing.

Dari Sedelupak Roto, kemudian kami memasuki kawasan Pestan, yang merupakan jalur pertemuan antara jalur baru dan jalur lama. Kawasan Pestan hampir seluruhnya ditumbuhi oleh rerumputan dan hanya ada beberapa pohon kecil. Sesampainya di Pestan, kami terpaku oleh pesona alam Gunung Sumbing yang begitu eksotik, lembah-lembah hijau terasa menyejukkan mata. Kami melihat burung-burung di kawasan ini.

Hari mulai siang. Sinar matahari mulai terasa menyengat. Di Pestan, kami sejenak beristirahat untuk makan siang. Semangkuk mi dan segelas teh manis cukup untuk memulihkan kondisi tubuh. Terasa nikmat apalagi sambil menikmati keindahan alam pegunungan.

Dari punggung Gunung Sumbing, tampak gunung di sampingnya, yang kerap disebut saudara kembarnya, yaitu Gunung Sindoro. Dari sana, puncak Gunung Sumbing terasa lebih dekat.

Setelah makan siang dan beristirahat secukupnya, kami meninggalkan kawasan Pestan menuju Pasar Watu. Kami mesti ekstrahati-hati karena harus melewati jalanan yang berbatu. Tampak dinding batu besar yang kukuh berdiri. Kawasan ini disebut Pasar Watu karena di sepanjang jalan banyak sekali batu kecil dan besar.

Sebelum mencapai puncak, kami harus mengambil jalur ke arah kiri yang cukup menurun. Jika harus mengambil jalan lurus, akan lebih sulit. Kami berjalan di bawah dinding batu yang memanjang sampai di sebuah tempat yang dinamakan Watu Kotak. Disebut demikian karena bentuknya menyerupai kotak. Kondisi jalan tetap tanah merah dan berbatu. Merayapi batu dan berpegang pada akar-akar yang bersembunyi di balik batu-batu terasa cukup membantu perjalanan kami menuju puncak.
Dengan perjuangan yang cukup melelahkan, melewati jalan yang berbatu dan menanjak, akhirnya kami sampai di puncak Gunung Sumbing. Rasa haru dan bangga kami curahkan di puncak Gunung Sumbing. Tampak batu besar berserakan di puncak gunung, yang terlihat begitu indah dan menakjubkan. Suasana sore itu begitu mempesona. Warna-warni yang cantik sulit kami lukiskan dengan kata-kata. Sungguh ciptaan Tuhan tiada bandingannya. Tidak lupa kami mengabadikan suasana sore itu dengan latar belakang Gunung Sindoro yang sedang diselimuti mega-mega putih yang terhampar bagai permadani. Rasa lelah selama kurang-lebih sembilan jam pendakian terobati dengan suguhan alam yang begitu eksotik.

Sore berganti dengan malam, warna-warni langit perlahan-lahan ditelan warna gelap malam. Satu per satu bintang muncul hingga tak terhitung jumlahnya. Di puncak, kami mendirikan tenda. Tidak di tempat lapang terbuka, melainkan di balik batu-batu besar agar tidak langsung terempas angin. Kami memasak untuk makan malam, dengan mi dicampur sarden, terasa nikmat sekali. Apalagi ditambah dengan segelas kopi panas, yang terasa cukup menghangatkan tubuh kami.

Tampak bintang-bintang bertaburan, memancarkan sinarnya, memberi penerangan di dalam kehangatan tenda kami. Suasana begitu romantis. Kami sangat bersyukur karena alam Gunung Sumbing sangat bersahabat. Tak terasa hari mulai larut malam, kami siap-siap untuk tidur.
Semilir angin membangunkan kami dari hangatnya dekapan sleeping bag. Sambil menikmati hangatnya teh manis panas, kami menunggu matahari terbit. Yang kami tunggu pun mulai tampak, perlahan-lahan menyinari mega-mega putih. Kami mengabadikan peristiwa ini, yang belum tentu bisa kami lihat di kota.

Kami tidak berlama-lama menikmati keindahan Gunung Sumbing. Walau dengan berat, kami meninggalkan keindahan ini, karena perjalanan kami masih panjang. Perjalanan turun harus dituntut ekstrahati-hati. Kurang-lebih enam jam perjalanan akhirnya kami tiba di pos pendakian Gunung Sumbing. Setelah melapor di pos pendakian, kami berpamitan kepada petugas di pos itu untuk melanjutkan pendakian menuju Gunung Sindoro.

Titik awal pendakian ke Sindoro adalah Desa Kledung. Setelah meminta izin pendakian dan mengisi persediaan air, kami berangkat menuju puncak Gunung Sindoro. Hari mulai memasuki sore. Perjalanan kami harus melewati beberapa rute pendakian, seperti Watu Gede, Situk, Ratu Tatah, dan puncak Sindoro.

Perjalanan kami cukup melelahkan karena kami baru saja mendaki Gunung Sumbing. Karena hari mulai gelap, kami mendirikan tenda di suatu tempat yang dinamakan Watu Tatah. Di sana kami menginap semalam untuk memulihkan kondisi. Esoknya perjalanan kami lanjutkan.

Dari Watu Tatah menuju puncak Gunung Sindoro diperlukan waktu sekitar dua-tiga jam. Dengan perjuangan yang cukup melelahkan melewati jalur yang berbatu, akhirnya kami sampai di puncak Gunung Sindoro. Kami pun melakukan sujud syukur atas keberhasilan mencapai puncak Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing

Sumber :www.tempointeraktif.com
Foto : http://komunitascoemie.files.wordpress.com

Wisata Gunung Gede

Gunung Gede-Pangrango adalah satu-satunya gunung yang paling sering di daki di Indonesia, kurang lebih 50.000 pendaki per tahun, meskipun peraturan dibuat seketat mungkin, bisa jadi karena lokasinya yang berdekatan dengan Jakarta dan Bandung. Untuk mengembalikan habitatnya biasanya tiap bulan Agustus ditutup untuk pendaki juga antara bulan Desember hingga Maret. Untuk mengurangi kerusakan alam maka dibuatlah beberapa jalur pendakian, namun jalur yang populer adalah melalui pintu Cibodas.
 Mulai 1 April 2002 untuk mengunjungi Taman Nasional Pangrango diberlakukan sistem booking, 3-30 hari sebelum pendakian harus booking dahulu. Jumlah pendaki dibatasi hanya 600 orang per malam, 300 melalui Cibodas, 100 melalui Selabintana, 200 melalui Gunung Putri. Pendaftaran pendaki hanya dilanyani di Wisma Cinta Alam kantor Balai Taman Nasional Gn. Gede-Pangrango pada hari kerja (senen-jumat) pada jam kantor. Pos Cibodas, Gn. Putri dan Salabintana sudah tidak melayani ijin pendakian. Hanya sebagai pos kontrol.
Pemerintah Hindia Belanda menetapkan kawasan hutan seluas 150 km2 di puncak Gunung Gede Pangrango (Kabupaten Cianjur) sebagai suaka alam pada tahun 1889.  Pemerintah RI kemudian mengubah status wilayah Gede Pangrango menjadi Taman Nasional pada tahun 1980.
CUACA
Gede Pangrango adalah salah satu tempat di pulau jawa yang terbanyak curah hujannya, rata-rata pertahun mencapai 3.000 hingga 4.200 mm. Musim Hujan dimulai pada bulan Oktober hingga bulan mei dengan curah hujan lebih dari 200 mm setiap bulannya, dan lebih dari 400 mm perbulannya diantara bulan Desember hingga Maret dan taman biasanya ditutup. Taman nasional ini sangat penting untuk menyerap air hujan.
 Saat terbaik untuk mengunjungi taman maupun pendakian adalah diantara musim kemarau sekitar juni hingga september, dimana pada saat itu curah hujan turun dibawah 100 mm. Suhu rata-rata berfariasi dari 18ºC di Cibodas hingga kurang dari 10ºC di puncak gunung gede dan pangrango, dengan kelembaban diantara 80% dan 90%. Pada malam hari suhu di puncak gunung bisa mencapai dibawah 5ºC, sehingga bagi setiap pendaki gunung harus membawa jaket tebal.  Pendaki juga perlu berhati-hati karena pohon-pohonan mudah tumbang.
Kelembabannya sangat tinggi terutama di hutan pada malam hari, namun pada musim kemarau di puncak gunung berubah turun pada malam hari sekitar 30% hingga siang hari naik mencapai 90%.
FAUNA
Tercatat ada 245 jenis burung di taman ini, ketika Junghuhn mendaki Gn.Pangrango pada tahun 1839, merupakan pendaki pertama yang dilakukan oleh orang Eropa, ia menemukan dua badak jawa di dekat puncak gunung (kandang badak) seekor sedang berendam di suatu sungai kecil dan yang lain sedang merumput di pinggir sungai. Sekitar 150 tahun yang lalu juga masih dihuni oleh banteng dan rusa jawa. Pada tahun 1929 masih ada Macan tutul Panthera pardus di Taman Nasional ini, dan tahun 1986 masih tersisa 10, tetapi sekarang sudah tidak ada lagi.
PINTU MASUK TAMAN
Bagi setiap pengunjung wajib minta ijin di pintu masuk taman yang dapat diperoleh di kantor Cibodas. Pengunjung dapat memasuki taman lewat beberapa pintu diantaranya:
Pintu Cibodas (Cianjur) merupakan pintu masuk utama dan kantor pusat taman. Berjarak kira-kira 100 km dari Jakarta / 2,5 jam dengan mobil, 89 km dari Bandung / 2 jam naik mobil. Pintu Gunung Putri (Cianjur) dekat dengan Cibodas dan dapat dijangkau lewat Cipanas atau Pacet. Pintu Selabintana (Sukabumi) berjarak 60 km dari Bogor / 1,5 jam naik mobil, dan 90 km dari Bandung / 2 jam naik mobil. Jalur ini sudah ditutup, karena ada beberapa tempat yang terkena longsor sehingga kita harus merangkak melalui pinggiran jurang dengan tali. Untuk itu diperlukan ijin khusus dan harus dengan pengawalan ranger. Pintu Situgunung (Sukabumi) berjarak 15 km dari Selabintana ke arah Bogor. Jalur menuju puncak Gunung Gede dan Pangrango memiliki jalur yang sangat jelas, kecuali pintu masuk Situgunung.
PERATURAN PENDAKIAN
  1. Semua pengunjung wajib membayar tiket masuk taman dan asuransi. Para wisatawan dapat membelinya di ke empat pintu masuk. Ijin khusus diperlukan bagi pendaki gunung atau wisatawan yang dari Cibodas menuju Air terjun Cibeureum melanjutkan ke Air Panas. Wisatawan yang menuju Air terjun Cibeureum lewat Selabintana. Dari perkemahan Bobojong memasuki Taman Nasional lewat Gunung Putri.
  2. Bagi para pendaki gunung harus minta ijin ke kantor pusat taman di Cibodas, 3-30 hari sebelum pendakian harus booking dahulu. Jumlah pendaki dibatasi hanya 600 orang per malam.
Jam buka kantor pengurusan ijin:
Senin - Kamis jam 07.30 - 14.30
Jumat             jam 07.30 - 11.00
Pendaki harus menyerahkan photo copy KTP atau Surat ijin Orang Tua bagi yang belum memiliki KTP.
  1. Penjaga akan memeriksa barang-barang bawaan dan perijinan sebelum memasuki taman.
  2. Dilarang membawa binatang ke dalam taman.
  3. Dilarang membawa senjata tajam termasuk pisau dan peralatan berburu.
  4. Dilarang membawa perlengkapan radio dan bunyi-bunyian ke dalam taman, ijin khusus diperlukan bagi pengguna  “walkie-talkie”.
  5. Dilarang membuat api unggun yang beresiko tinggi penyebab kebakaran hutan.
  6. Dilarang mengganggu, memindahkan, atau merusak barang-barang milik taman. Termasuk mencorat-coret batu atau  pohon.
  7. Dilarang memetik bunga atau mencabut tanaman.
  8. Mendakilah mengikuti jalur utama. Memotong jalur dapat merusak taman dan juga sangat berbahaya.
  9. Jangan tinggalkan sampah, sangat sulit dan lama untuk membersihkan sampah dan botol-botol di gunung. Bawa kembali  semua sampah ke luar taman.
  10. Jangan mecemari atau mengotori sungai, pada saat mandi jangan gunakan sabun atau bahan pencemar lainnya.
  11. Melapor kembali ke penjaga taman ketika meninggalkan taman dan menyerahkan surat ijin masuk.
  12. Dilarang membawa minumam beralkohol ke dalam taman.
KEBUTUHAN MINIMAL
Bagi para pendaki kebutuhan utama yang harus dipenuhi adalah:
  1. Perlengkapan minimal pendakian: pakaian hangat, sleeping bag bila ingin menginap di gunung, jas hujan atau pakaian tahan air, perlengkapan obat-obatan.
  2. Bawalah bekal makanan dan minuman yang cukup (non-alkohol).
  3. Dilarang mendaki sendirian, sedikitnya harus tiga orang dalam suatu kelompok dan sebisa mungkin dibimbing oleh orang yang sudah hafal betul dengan jalurnya.
PINTU CIBODAS & GUNUNG PUTRI
Jalur terbaik adalah melalui Cibodas, karena kita dapat menikmati keindahan satwa dan beberapa tempat menarik seperti Telaga Biru, air terjun Ciberem dan Air Panas. Terutama sekali kita dapat menemukan aliran air sepanjang jalan hingga pos Kandang Badak suatu pos persimpangan jalan antara Gunung Gede dan Pangrango.

Cibodas atau Gunung Putri dapat ditempuh menggunakan kendaraan umum jurusan Jakarta - Bandung. Turun di Cipanas atau pertigaan Cibodas, disambung dengan mobil angkutan kecil jurusan Cipanas - Cibodas, atau Cipanas - Gunung Putri. Selain dikenakan tiket masuk Taman dan Asuransi, pengunjung diwajibkan meninggalkan photocopy Tanda Pengenal dan menunjukkan Tanda pengenal asli.
Melalui Cibodas puncak Gunung Gede dapat ditempuh selama 5 jam dan puncak Gunung Pangrango dapat ditempuh selama 7 jam.  Sedangkan melalui Gunung Putri puncak Gunung Gede dapat ditempuh selama 9 jam.
Dari jalur Cibodas, terdapat beberapa pos peristirahatan yang berupa bangunan beratap yang sangat bermanfaat untuk berteduh dan menghangatkan badan. Sebaiknya tidak mendirikan tenda di dalam pos karena mengganggu para pendaki lainnya yang ingin berteduh.
Sebelum pos Kandang Batu kita akan melewati suatu lereng curam yang sangat berbahaya, yang dialiri air panas, pendaki perlu ekstra hati-hati karena sempit dan licin namun banyak pendaki berhenti untuk menghangatkan badan. Sebaiknya tidak berhenti di sini sangat menggangu pendaki lainnya, selain itu sebaiknya menggunakan sepatu, panasnya air sangat terasa bila kita hanya menggunakan sandal.
Mandi di sungai di Pos Kandang Batu ini yang berair hangat sangat menyegarkan badan, menghilangkan capek dan kantuk. Membantu melancarkan aliran darah yang beku kedinginan. Jangan gunakan sabun, odol, shampoo, karena banyak pendaki mengambil air minum di sungai ini. Membuka tenda di Pos ini sangat mengganggu perjalanan pendaki lainnya.
Meninggalkan Pos Kandang Batu kita akan melewati sungai yang kadang airnya deras sehingga hati-hati dengan sendal yang dipakai. Celana panjang mungkin perlu digulung, namun bila air sungai sedang tenang (tidak ada hujan di puncak) kita bisa melompat di atas batu-batu. Mendekati Kandang Badak, kita akan mendengar suara deru air terjun yang cukup menarik dibawah jalur pendakian. Kita bisa memandang ke bawah menyaksikan air terjun tersebut, atau turun ke bawah untuk mandi bila air tidak terlalu dingin.
Bagi pendaki sebaiknya mengisi persediaan airnya di pos Kandang Badak, karena perjalanan berikutnya akan susah memperoleh air. Setelah kandang Badak perjalanan menuju puncak sangat menanjak dan melelahkan disamping itu udara sangat dingin sekali. Disini terdapat persimpangan jalan, untuk menuju puncak Gn.Gede ambil arah ke kiri, dan untuk menuju puncak Gn.Pangrango ambil arah kanan. Persiapan fisik, peralatan dan perbekalan harus diperhitungkan, sebaiknya beristirahat di pos ini dan memperhitungkan baik buruknya cuaca.
Di atas puncak gunung Gede dengan latar belakang gunung Pangrango.
Puncak Gede sangat indah namun perlu hati-hati, kita dapat berdiri dilereng yang sangat curam, memandang ke kawah Gede yang mempesona.
Dibawah lereng-lereng puncak ditumbuhi bunga-bunga edelweis yang mengundang minat untuk memetiknya, hal ini dilarang dan sangat berbahaya. Pada bulan Februari hingga Oktober 1988, terdapat 636 batang yang tercatat telah diambil dari Gunung Gede-Pangrango.
Dari puncak Gede kita bisa kebawah menuju alun-alun SuryaKencana, dengan latar belakang gunung Gumuruh. Terdapat mata air yang jernih dan tempat yang sangat luas untuk mendirikan kemah. Dari sini kita belok ke kiri (timur) bila ingin melewati jalur Gunung Putri, dan untuk melewati jalur Selabintana kita berbelok ke kanan (barat).
KELUAR TAMAN MELEWATI SELABINTANA
Minggu pertama bulan Mei 2001  terdapat ribuan pendaki berjejal di pintu Cibodas sepanjang hari membuat petugas kewalahan. Sepanjang jalur dimana ada tempat agak lebar disitu ada pendaki membuat tenda. Bahkan dijalanan para pendaki beristirahat dan tiduran karena sudah tidak ada tempat lagi untuk beristirahat. Kami pun harus berjalan dengan hati-hati karena bisa-bisa menginjak kaki para pendaki yang tidur dijalanan. Tenda - tenda berjejal di Pos Kandang batu dan Pos Kandang Badak, banyak pendaki yang tersesat menuju kawah sebelum Pos Kandang Badak, hal ini mungkin karena banyaknya jalur baru dan banyak pohon tumbang, bukan hanya pendaki baru pendaki yang sudah beberapa kalipun juga tersesat ke kawah.
Alun-alun Suryakencanapun penuh dengan pendaki yang membuat Tenda, tidak seperti biasanya minggu  pertama bulan Mei cuaca Gunung Gede saat itu terasa panas baik di sepanjang jalan maupun di puncak gunung.  Cuaca dingin dan kabut tidak dijumpai padahal beberapa hari sebelumnya dikabarkan udara sangat dingin hingga puncak gunung diselimuti kristal es.
Dari puncak Gn.Gede Tim kesebelasan Skrekanek berlomba-lomba menuruni lereng puncak menuju Alun-alun Suryakencana, melewati pohon-pohon edelweis. Suasana di alun-alun seperti di tempat wisata perkemahan, banyak pendaki merebahkan badan di rumput sambil berjemur, kebetulan cuaca sedang panas. Setelah beristirahat sejenak ke-11 Tim segela melanjutkan perjalanan.
Dari Alun-alun Suryakencana kebanyakan pendaki berbelok ke kiri menuju jalur Gunung Putri, sedangkan Tim  Skrekanek berbelok kanan ke arah barat untuk menuju ke Jalur Selabintana menyusuri alun-alun Suryakencana. Kemudian berbelok kekiri memasuki kawasan hutan di lereng Gn.Gumuruh. Tim Skrekanek sempat salah jalan dengan mengikuti jalur yang menuju puncak Gn.Gumuruh.
Jalur Selabintana memiliki 4 buah pos yang berupa bangunan berteduh yang sudah roboh semua. Pos pertama berada di lereng gunung Gumuruh dekat dengan alun-alun Selabintana. Pos ini merupakan persimpangan antara jalur ke selabintana, alun-alun, dan puncak Gn.Gumuruh. Jalur dari Pos I menuju Pos II curam sekali namun jelas kelihatan meskipun sangat jarang dilewati, kita harus tetap waspada, di beberapa tempat kita harus turun dengan cara merangkak berpegangan batu atau akar.
Mendekati pos ke dua jalur agak landai , di kiri kanan jalur di tumbuhi pohon-pohon besar dengan bentuk yang aneh-aneh yang menimbulkan khayalan dan rasa takut, meskipun cuaca hari itu sangat bagus. Beberapa anggota Tim mulai berbicara ngelantur, tiga orang tim dari Tj. Priuk merasa seolah -olah kami hanya berputar-putar di tempat yang sama, sehingga mereka sempat panik. Asep merasa melihat bangunan rumah besar dan ingin menuju ke sana. Lebih parah lagi Gandhi merasa berada di rumah sendiri dan mengajak kami semua untuk mampir ke rumahnya. Setelah sampai di pos II (dari puncak) kami beristirahat untuk memulihkan kesadaran kembali.
Setengah perjalanan di dekat Pos tiga terdapat air terjun kecil dengan mata air yang jernih dan dingin, kita dapat mengisi perbekalan air kita atau sebaiknya berkemah disini bila sudah sudah sore, karena jalan yang akan kita lalui berikutnya sangat berbahaya, selain sempit menyusuri sisi jurang juga mudah longsor, menikung tajam tertutup oleh semak-semak, bila dalam keadaan gelap atau berkabut sangat berbahaya.
Sebaiknya kita menempuh perjalanan pada pagi atau siang hari dimana matahari terang namun apabila berkabut tetap sangat berbahaya. Jangan berjalan terlalu cepat gunakan tongkat untuk menusuk tanah di depan kita bila jalur tertutup semak. Jaga jarak jangan terlalu jauh dengan pendaki lainnya.
Jalur selanjutnya terputus dan sepertinya hilang. Kita harus menuruni lereng jurang menggunakan tali, yang tidak kelihatan karena tertutup daun-daunan. Kemudian menyusuri tepi jurang yang sangat berbahaya sambil berpegangan tali karena berjalan di atas batuan yang licin dan berair, kita harus menaiki jurang kembali dengan menggunakan tali.
Jalur selanjutnya sudah lebar dan tampak jelas, kita akan melewati jalanan setapak yang agak nyaman tidak terlalu menurun menuju Selabintana. Bagi yang menggunakan sandal gunung sebaiknya mengolesi kaki dan badan dengan air tembakau, karena jalur ini banyak sekali pacetnya. Pos empat berada di dekat selabintana disini terdapat areal perkemahan yang sangat luas, dan
sungai yang jernih.
Masing-masing anggota Tim skrekanek memperoleh kenang-kenangan di tempeli Pacet/lintah lebih dari 10 ekor perorang. Seekor lintah yang menempel di dada Nanang sempat terbawa hingga terminal Sukabumi dan membesar sebesar jempol tangan.
Kami sangat bersyukur karena ke sebelas TIM Skrekanek selamat pulang kembali, sebelumnya seorang pendaki dari Perancis telah terperosok ke jurang di jalur ini meskipun berhasil diselamatkan setelah 4 hari berada di jurang karena membawa handphone satelit.
MISTERI GUNUNG GEDE
Kadangkala pendaki yang berada dikawasan alun-alun Suryakencana, akan mendengar suara kaki kuda yang berlarian, tapi kuda tersebut tidak terlihat wujudnya. Konon, kejadian ini pertanda Pangeran Suryakencana datang ke alun-alun dengan dikawal oleh para prajurit. Selain itu para pendaki kadang kala akan melihat suatu bangunan istana.
Alun-alun Surya Kencana berupa sebuah lapangan datar dan luas pada ketinggian 2.750m dpl yang berada disebelah timur puncak Gede, merupakan padang rumput dan padang edelweiss. Suryakencana adalah nama seorang putra Pangeran Aria Wiratanudatar (pendiri kota Cianjur) yang beristrikan seorang putri jin. Pangeran Suryakencana memiliki dua putra yaitu: Prabu Sakti dan Prabu Siliwangi.
Kawasan Gunung Gede merupakan tempat bersemayam Pangeran Suryakencana. Beliau bersama rakyat jin menjadikan alun2 sebagai lumbung padi yang disebut Leuit Salawe, Salawe Jajar, dan kebun kelapa salawe tangkal, salawe manggar.
Petilasan singgasana Pangeran Suryakencana berupa sebuah batu besar berbentuk pelana. Hingga kini, petilasan tersebut masih berada di tengah alun-alun, dan disebut Batu Dongdang yang dijaga oleh Embah Layang Gading. Sumber air yang berada ditengah alun-alun, dahulu merupakan jamban untuk keperluan minum dan mandi.
Di dalam hutan yang mengitari Alun-alun Surya Kencana ini ada sebuah situs kuburan kuno tempat bersemayam Prabu Siliwangi. Pada masa pemerintahan Prabu Siliwangi yang menguasai Jawa Barat, terjadi peperangan melawan Majapahit. Selain itu Prabu Siliwangi juga harus berperang melawan Kerajaan Kesultanan Banten. Setelah menderita kekalahan yang sangat hebat Prabu Siliwangi melarikan diri bersama para pengikutnya ke Gunung Gede.
Sekitar gunung Gede banyak terdapat petilasan peninggalan bersejarah yang dianggap sakral oleh sebagian peziarah, seperti petilasan Pangeran Suryakencana, putri jin dan Prabu Siliwangi. Kawag Gunung Gede yang terdiri dari, Kawah Ratu, Kawah Lanang, dan Kawah Wadon, dijaga oleh Embah Kalijaga. Embah Serah adalah penjaga Lawang Seketeng (pintu jaga) yang terdiri atas dua buah batu besar. Pintu jaga tersebut berada di Batu Kukus, sebelum lokasi air terjun panas yang menuju kearah puncak.
Eyang Jayakusumah adalah penjaga Gunung Sela yang berada disebelah utara puncak Gunung Gede. Sedangkan Eyang Jayarahmatan dan Embah Kadok menjaga dua buah batu dihalaman parkir kendaraan wisatawan kawasan cibodas. Batu tersebut pernah dihancurkan, namun bor mesin tidak mampu menghancurkannya. Dalam kawasan Kebun Raya Cibodas, terdapat petilasan/ makam Eyang Haji Mintarasa.
Pangeran Suryakencana menyimpan hartanya dalam sebuah gua lawa/walet yang berada di sekitar air terjun Cibeureum. Gua tersebut dijaga oleh Embah Dalem Cikundul. Tepat berada di tengah-tengah air terjun Cibeureum ini terdapat sebuah batu besar yang konon adalah perwujudan seorang pertapa sakti yang karena bertapa sangat lama dan tekun sehingga berubah menjadi batu. Pada hari kiamat nanti barulah ia akan kembali berubah menjadi manusia.