Sabtu, 17 Desember 2011

Cerita Rakyat Sendang Senjaya di Tegalwaton

Cerita Rakyat Sendang Senjaya dituturkan secara lisan dan masih terpelihara dengan baik di tengah-tengah masyarakat desa Tegalwaton Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang, Cerita Rakyat Sendang Senjaya digolongkan sebagai cerita lisan atau folklor. Folklor merupakan sebagian dari kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun diantara kolektif macam apa saja secara tradisional dalam versi yang berbeda–beda, baik dalam bentuk lisan maupun disertai contoh dengan gerak isyarat atau alat bantu (James Danandjaja  984 :2 ).
 Cerita lisan lahir dari masyarakat tradisional yang masih memegang teguh tradisi lisannya. Cerita rakyat merupakan manifestasi kreativitas manusia yang hidup dalam kolektivitas masyarakat yang memilikinya, dan diwariskan turun temurun secara lisan dari generasi ke generasi, Cerita Rakyat Sendang Senjaya digolongkan sebagai cerita rakyat karena adanya peninggalan berupa Sendang dan memiliki sebuah cerita yang dipercayai keberadaannya. Cerita rakyat biasanya orientasi penyebarannya terbatas pada daerah tertentu dan merupakan muatan lokal yang menyatu sekaligus sebagai kebanggaan daerah yang bersangkutan. Tokoh-tokoh dalam cerita dianggap merupakan orang yang bersifat dewa atau didewakan atau kultus cerita pada tokoh atau masyarakat pendukungnya.
Cerita Rakyat Sendang Senjaya sangat populer di wilayah Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang Propinsi Jawa Tengah. Tokoh Arya Sunjaya atau Senjaya yang dikenal masyarakat sebagai tokoh legendaris dan dianggap sakti oleh masyarakat, karena kepandaiannya, keberaniaanya, serta pembela kebenaran. Bahan kajian sastra lisan amat kaya, yang paling penting dalam penelitian sastra lisan adalah melakukan upaya penelitian struktur sastra lisan sambil melakukan perekaman untuk menyelamatkan sastra lisan ke dalam bentuk tulisan agar dapat dijadikan dokumen dan peninggalan sejarah. Cerita rakyat sebagai sastra lisan mempunyai banyak fungsi dan sangat menarik serta penting untuk diselidiki. Cerita Rakyat Sendang Senjaya juga perlu dilestarikan sehingga keberadaannya dapat dirasakan oleh masyarakat pendukungnya.
Nama Senjaya pada Sendang Senjaya berasal dari tokoh pewayangan, yaitu Arya Sunjaya atau Sunjaya merupakan keturunan dari Arya Widura. Kalah berperang dengan Adipati Karna kemudian moksa menjadi Sendang Senjaya. Sendang Senjaya konon dipercaya sebagai tempat yang memiliki berkah dan sering digunakan orang sebagai tempat untuk berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Di sinilah dahulu Mas Karebet yang juga dikenal dengan nama Joko Tingkir yang kemudian menjadi Sultan Hadiwijaya, sering melakukan lelaku Kungkum sebelum memutuskan mengabdi menjadi prajurit di Kerajaan Demak.
Kecamatan Tengaran dulu memang terkenal karena kewingitan hutannya. Tentang kewingitannya itu hingga sekarang masih bisa dirasakan kalau berkunjung ke Sendang Senjaya, Desa Tegalwaton Kecamatan Tengaran. Daerah di sekitar itu masih rimbun dengan pohon yang lebat. Konon, di salah satu pohonnya yang besar itulah, Mas Karebet atau Joko Tingkir pernah bertapa untuk menuntut ilmu kanuragan (kebal). Sekitar sendang dilingkupi hutan kecil seluas lima hektar. Di tepi sendang tegak berdiri pohon pule, suren, preh, doyo, dan beringin. Limpahan air yang mengalir dari Sendang Senjaya disalurkan ke tampungan air, nantinya tampungan air yang dari Sendang Senjaya sebelum terbuang ke sungai dimanfaatkan warga untuk mencuci segala peralatan mereka. Jika musim kering tiba atau musim kemarau pengunjung Sendang Senjaya bertambah, dari mereka yang datang tujuannya adalah untuk merasakan dan menikmati suasana yang segar karena jernihnya air Sendang Senjaya.
Di sekeliling Sendang Senjaya terdapat enam Sendang dengan ukuran lebih kecil, yaitu Sendang Slamet, Sendang Bandung, Sendang Putri, Sendang Lanang, Sendang Teguh dan Tuk Sewu. Tengaran memang dimanjakan oleh air, karena terletak di ketinggian 450-800 meter di atas permukaan laut itu secara geografis memang kaya air. Air yang dipasok dari lereng Gunung Merbabu, Telomoyo, Gajah Mungkur. Tak kurang dari 65 mata air atau belik (dalam bahasa lokal) tersebar di berbagai penjuru kota. Limpahan air dari mata air mengalir ke sungai-sungai yang menjalar di berbagai kampung dan dusun di Tengaran. Itulah mengapa kampung desa di sekitar Tengaran mempunyai nama yang mengacu pada nama sungai, antara lain Kalitaman, Kalicacing, Kalisombo, Kalioso, Kalibodri, Kaligetek, Kalibening, Kalinangka, dan kali – kali lainnya. Airnya selalu bersih dan jernih. Sendang Senjaya digunakan masyarakat sebagai pemasok utama kebutuhan air bersih di Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang, karena pada jaman Belanda dulu Sendang ini dimanfaatkan sebagai penyuplai kebutuhan air bersih.
Sendang Senjaya biasanya ramai di kunjungi orang pada malam Selasa Kliwon dan Jum’at Kliwon, serta malam tanggal 15 dan 16 kalender Jawa. Mereka yang datang untuk lelaku biasanya selalu menyempatkan berendam (kungkum) disalah satu sumber mata air di kawasan Sendang Senjaya. Kegiatan Kungkum termasuk kegiatan batiniah yang bertujuan untuk mendapatkan Ridho dari Tuhan, kebanyakan dari peziarah yang datang ke Sendang Senjaya mengharapkan menerima berkah dengan melakukan Kungkum, melakukan tradisi Kungkum yaitu kira-kira selama satu jam atau lebih dengan posisi duduk dan hanya kelihatan kepalanya dari permukaan air. Kebiasaan di Sendang Senjaya peziarah sebelum melakukan Kungkum menyalakan dupa, dupa sebagai pengirim doa kepada Allah SWT karena simbol dari keharuman dupa sangat disukai oleh Tuhan. Dengan suasana yang hening dan sepi menjadikan doa pelaku Kungkum khusuk dengan harapan permohonan doa dapat segera terkabulkan. Jumlah pengunjung di Sendang Senjaya akan makin bertambah banyak setelah waktu tengah hari pukul 12.00 hingga sekitar pukul 18.00. Mereka tak hanya berasal dari Salatiga dan Kabupaten Semarang, tetapi ada yang berasal dari Yogyakarta, Magelang, Klaten, Boyolali, Demak dsb.
Tradisi padusan di Sendang Senjaya sudah berlangsung bertahun-tahun. Juga dilakukan menjelang bulan Puasa. Selain tradisi Kungkum dan Padusan terdapat juga tradisi Upacara Mapag Tanggal merupakan tradisi sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT yang dilakukan pada setiap malam satu Sura (penanggalan Jawa). Upacara tradisional merupakan salah satu wujud peninggalan kebudayaan. Kebudayaan adalah warisan sosial yang hanya dapat dimiliki oleh warga masyarakat pendukungnya dengan jalan mempelajarinya. Ada cara-cara atau mekanisme tertentu dalam tiap masyarakat untuk memaksa tiap warganya mempelajari kebudayaan yang di dalamnya terkandung norma-norma serta nilai-nilai kehidupan yang berlaku dalam tata pergaulan masyarakat yang bersangkutan, mematuhi norma serta menjunjung nilai-nilai penting bagi warga masyarakat demi kelestarian hidup bermasyarakat. (DR. Purwadi 2005 :1)
Masyarakat sebagai pelaku atau pelaksana upacara Mapag Tanggal selalu membuat ubarampe dalam perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam pelaksanaan upacara Mapag Tanggal tersebut di dalamnya terdapat maksudmaksud tertentu antara lain sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkah yang dilimpahkan sehingga hasil panennya dapat dikatakan berhasil. Ungkapan tersebut disimbolkan dalam membuat sesaji berupa makanan. Makanan yang mereka persembahkan berupa hasil dari pertanian mereka diantarannya padi, umbiumbian dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar