Cerita Rakyat Sendang Senjaya dituturkan
secara lisan dan masih terpelihara dengan baik di tengah-tengah
masyarakat desa Tegalwaton Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang, Cerita
Rakyat Sendang Senjaya digolongkan sebagai cerita lisan atau folklor.
Folklor merupakan sebagian dari kebudayaan suatu kolektif yang tersebar
dan diwariskan secara turun temurun diantara kolektif macam apa saja
secara tradisional dalam versi yang berbeda–beda, baik dalam bentuk
lisan maupun disertai contoh dengan gerak isyarat atau alat bantu (James
Danandjaja 984 :2 ).
Cerita lisan
lahir dari masyarakat tradisional yang masih memegang teguh tradisi
lisannya. Cerita rakyat merupakan manifestasi kreativitas manusia yang
hidup dalam kolektivitas masyarakat yang memilikinya, dan diwariskan
turun temurun secara lisan dari generasi ke generasi, Cerita Rakyat
Sendang Senjaya digolongkan sebagai cerita rakyat karena adanya
peninggalan berupa Sendang dan memiliki sebuah cerita yang dipercayai
keberadaannya. Cerita rakyat biasanya orientasi penyebarannya terbatas
pada daerah tertentu dan merupakan muatan lokal yang menyatu sekaligus
sebagai kebanggaan daerah yang bersangkutan. Tokoh-tokoh dalam cerita
dianggap merupakan orang yang bersifat dewa atau didewakan atau kultus
cerita pada tokoh atau masyarakat pendukungnya.
Cerita
Rakyat Sendang Senjaya sangat populer di wilayah Kecamatan Tengaran
Kabupaten Semarang Propinsi Jawa Tengah. Tokoh Arya Sunjaya atau Senjaya
yang dikenal masyarakat sebagai tokoh legendaris dan dianggap sakti
oleh masyarakat, karena kepandaiannya, keberaniaanya, serta pembela
kebenaran. Bahan kajian sastra lisan amat kaya, yang paling penting
dalam penelitian sastra lisan adalah melakukan upaya penelitian struktur
sastra lisan sambil melakukan perekaman untuk menyelamatkan sastra
lisan ke dalam bentuk tulisan agar dapat dijadikan dokumen dan
peninggalan sejarah. Cerita rakyat sebagai sastra lisan mempunyai banyak
fungsi dan sangat menarik serta penting untuk diselidiki. Cerita Rakyat
Sendang Senjaya juga perlu dilestarikan sehingga keberadaannya dapat
dirasakan oleh masyarakat pendukungnya.
Nama
Senjaya pada Sendang Senjaya berasal dari tokoh pewayangan, yaitu Arya
Sunjaya atau Sunjaya merupakan keturunan dari Arya Widura. Kalah
berperang dengan Adipati Karna kemudian moksa menjadi Sendang Senjaya.
Sendang Senjaya konon dipercaya sebagai tempat yang memiliki berkah dan
sering digunakan orang sebagai tempat untuk berdoa kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa. Di sinilah dahulu Mas Karebet yang juga dikenal dengan nama
Joko Tingkir yang kemudian menjadi Sultan Hadiwijaya, sering melakukan
lelaku Kungkum sebelum memutuskan mengabdi menjadi prajurit di Kerajaan
Demak.
Kecamatan Tengaran dulu memang
terkenal karena kewingitan hutannya. Tentang kewingitannya itu hingga
sekarang masih bisa dirasakan kalau berkunjung ke Sendang Senjaya, Desa
Tegalwaton Kecamatan Tengaran. Daerah di sekitar itu masih rimbun dengan
pohon yang lebat. Konon, di salah satu pohonnya yang besar itulah, Mas
Karebet atau Joko Tingkir pernah bertapa untuk menuntut ilmu kanuragan
(kebal). Sekitar sendang dilingkupi hutan kecil seluas lima hektar. Di
tepi sendang tegak berdiri pohon pule, suren, preh, doyo, dan beringin.
Limpahan air yang mengalir dari Sendang Senjaya disalurkan ke tampungan
air, nantinya tampungan air yang dari Sendang Senjaya sebelum terbuang
ke sungai dimanfaatkan warga untuk mencuci segala peralatan mereka. Jika
musim kering tiba atau musim kemarau pengunjung Sendang Senjaya
bertambah, dari mereka yang datang tujuannya adalah untuk merasakan dan
menikmati suasana yang segar karena jernihnya air Sendang Senjaya.
Di
sekeliling Sendang Senjaya terdapat enam Sendang dengan ukuran lebih
kecil, yaitu Sendang Slamet, Sendang Bandung, Sendang Putri, Sendang
Lanang, Sendang Teguh dan Tuk Sewu. Tengaran memang dimanjakan oleh air,
karena terletak di ketinggian 450-800 meter di atas permukaan laut itu
secara geografis memang kaya air. Air yang dipasok dari lereng Gunung
Merbabu, Telomoyo, Gajah Mungkur. Tak kurang dari 65 mata air atau belik
(dalam bahasa lokal) tersebar di berbagai penjuru kota. Limpahan air
dari mata air mengalir ke sungai-sungai yang menjalar di berbagai
kampung dan dusun di Tengaran. Itulah mengapa kampung desa di sekitar
Tengaran mempunyai nama yang mengacu pada nama sungai, antara lain
Kalitaman, Kalicacing, Kalisombo, Kalioso, Kalibodri, Kaligetek,
Kalibening, Kalinangka, dan kali – kali lainnya. Airnya selalu bersih
dan jernih. Sendang Senjaya digunakan masyarakat sebagai pemasok utama
kebutuhan air bersih di Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang, karena
pada jaman Belanda dulu Sendang ini dimanfaatkan sebagai penyuplai
kebutuhan air bersih.
Sendang Senjaya
biasanya ramai di kunjungi orang pada malam Selasa Kliwon dan Jum’at
Kliwon, serta malam tanggal 15 dan 16 kalender Jawa. Mereka yang datang
untuk lelaku biasanya selalu menyempatkan berendam (kungkum) disalah
satu sumber mata air di kawasan Sendang Senjaya. Kegiatan Kungkum
termasuk kegiatan batiniah yang bertujuan untuk mendapatkan Ridho dari
Tuhan, kebanyakan dari peziarah yang datang ke Sendang Senjaya
mengharapkan menerima berkah dengan melakukan Kungkum, melakukan tradisi
Kungkum yaitu kira-kira selama satu jam atau lebih dengan posisi duduk
dan hanya kelihatan kepalanya dari permukaan air. Kebiasaan di Sendang
Senjaya peziarah sebelum melakukan Kungkum menyalakan dupa, dupa sebagai
pengirim doa kepada Allah SWT karena simbol dari keharuman dupa sangat
disukai oleh Tuhan. Dengan suasana yang hening dan sepi menjadikan doa
pelaku Kungkum khusuk dengan harapan permohonan doa dapat segera
terkabulkan. Jumlah pengunjung di Sendang Senjaya akan makin bertambah
banyak setelah waktu tengah hari pukul 12.00 hingga sekitar pukul 18.00.
Mereka tak hanya berasal dari Salatiga dan Kabupaten Semarang, tetapi
ada yang berasal dari Yogyakarta, Magelang, Klaten, Boyolali, Demak dsb.
Tradisi
padusan di Sendang Senjaya sudah berlangsung bertahun-tahun. Juga
dilakukan menjelang bulan Puasa. Selain tradisi Kungkum dan Padusan
terdapat juga tradisi Upacara Mapag Tanggal merupakan tradisi sebagai
ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT yang dilakukan pada setiap malam
satu Sura (penanggalan Jawa). Upacara tradisional merupakan salah satu
wujud peninggalan kebudayaan. Kebudayaan adalah warisan sosial yang
hanya dapat dimiliki oleh warga masyarakat pendukungnya dengan jalan
mempelajarinya. Ada cara-cara atau mekanisme tertentu dalam tiap
masyarakat untuk memaksa tiap warganya mempelajari kebudayaan yang di
dalamnya terkandung norma-norma serta nilai-nilai kehidupan yang berlaku
dalam tata pergaulan masyarakat yang bersangkutan, mematuhi norma serta
menjunjung nilai-nilai penting bagi warga masyarakat demi kelestarian
hidup bermasyarakat. (DR. Purwadi 2005 :1)
Masyarakat
sebagai pelaku atau pelaksana upacara Mapag Tanggal selalu membuat
ubarampe dalam perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam
pelaksanaan upacara Mapag Tanggal tersebut di dalamnya terdapat
maksudmaksud tertentu antara lain sebagai ungkapan rasa syukur kepada
Tuhan Yang Maha Esa atas berkah yang dilimpahkan sehingga hasil panennya
dapat dikatakan berhasil. Ungkapan tersebut disimbolkan dalam membuat
sesaji berupa makanan. Makanan yang mereka persembahkan berupa hasil
dari pertanian mereka diantarannya padi, umbiumbian dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar